Kepadamu

Sepenggal pagi yang kau kirim telah menenggelamkan ilusiku pada
asmaragama
semalam kita masih bersenggama. bercucuran air mata paling purba.
mengisi mangkuk yang kau susun jadi piramida. entah mengapa tak
ada sperma. hanya ceceran luka masa lalu juga rindu kesumat yang
mengarak dalam batinku: aku selalu rindu bersenggama denganmu,
yang maha entah!
kaulah semata wayang. penjabaran tentangmu justru menggersangkan
cinta yang tumbuh subur di ladang-ladang ilusiku. unsur kebiadaban
dari doktrin-doktrin berlandaskan kepentingan itu tak mampu
mencampur kemurnian cintaku. kau adalah zat. sesuatu yang tak
berazimat. namun kau telah menghipnotisku. menarik jarak hingga
tubuh dan ruhku menyatu dalam keentahanmu.
kaulah semata wayang, yang maha entah. di sini, kugadaikan cintaku
untuk menebus dosa-dosa masa lalu. tapi kau membangkitkan ruhku.
mengajakku menyusuri jalan-jalan berbatu: kakiku tak luka. darahku
tak ngalir. terjal batu cuma ilusi yang mengelabuhi keberanianku untuk
menapakinya. nyatanya kau selalu menjunjungku kala aku aku
tersandung. kau menuntunku kala aku terjebak gelap: tak mampu
bedakan jalan dan semak.
kaulah semata wayang. didekapmu, aku seperti pengantin paling
sempurna. dibahagiakan ruh. air mataku kau jadikan hujan. bukankah
hujan selalu mendulang percintaan? dingin yang menelusup
membangkitkan libido ibadahku. aku bersimpuh menanti
kunjunganmu. aku merapal namamu melebihi kegilaan majnun pada
laila. aku tersungkur. mempersembahkan seluruh yang kupunya: meski
kau tak butuh. kau tak perlu segala sesembahan itu karena sejatinya
semua ini milikmu....
kaulah semata wayang. dalam keentahanmu, aku selalu menyetubuhi
diriku sendiri dengan ruh-ruh yang kau percikkan. aku bersenggama
dengan keyakinan hingga aku ngidam rindu begitu dahsyat. lalu
melahirkan cinta yang nantinya, akan kupersembahkan padamu. cinta
yang esa.
aku telah menggilaimu, yang maha entah. sembuhkan
ketidakwarasanku dengan perjuampaan. aku menunggumu. ataukah
aku yang seharusnya terseok-seok mencari keberadaanmu
: yang entah?