...

1
Sedikit aneh, sedikit terlambat, buah-buah mangga matang
Terlalu cepat, jejak kemarau menapak langkan rumah tua.
Pagi-pagi seorang tukang pos mengantarkan sepucuk surat,
Seolah semacam isyarat: satu keluarga mesti pergi, sebelum
Kabut menjemput kutuk sewarna marun, angin hijau pastel
Di halaman rumah, setelah sebiji embun di ranting cempaka
Menguap, sesetel sayap tekuku berkepak menembus cahaya
Pagi melepas bebulu sepasang bajing mati ke pokok angsana.
Tak bisa lagi kauhantarkan segelas teh pahit itu, terbayang
Wajah bocah lima tahun dengan sepasang biji mata terkagum
Berteriak, ‘Bak, ada surat!’ Tukang pos sejenak tersenyum
Menatapmu berlari mengacungkan selembar amplop coklat,
Setelah sebuah siulan kecil, ‘Taruh saja di meja,’ sahutnya.
Lalu, kau terjerembab. Ia menghampiri, cuma tegas berkata,
‘Bangun, Nak. Jadilah lelaki.’ Dan kini, dalam rasa asing ini
Kauurai satu-satu lontai kenangan dalam kisah paling nyeri.
2
Serakan daun petai cina dan belimbing di halaman rumah tua
Dibakar; seseorang mengetuk pintu, sepucuk senapan teracu
Ke dagunya; mereka culik lelaki renta itu tengah malam buta,
Mengikat kedua tangan dan kakinya seolah pelanduk buruan;
Orang tak bertuhan dibuang ke tepi hutan. Begitu kaudengar
Takdir kakekmu dari bibirnya, sedikit gemetar, hawa dingin
Segegas angin menggigit reranting waru, kupu-kupu kuning
Hinggap pada selembar kenangan jatuh di samping tumitmu.
‘Bak, kanapa kita bisa mati?’ Begitu kauingat sebisik tanya
Bocah lima tahun itu, matanya sembab menatap langit biru.
Lelaki itu menghirup tehnya, ’Pagi ini kakek tidur di surga,
Tak bisa mereka sembelih kakek di sana,’ katanya; kautatap
Awan putih menjelma seperti rintih di lekung pipi lelaki itu.
Sekarang ia kembali mengarit halaman rumah, subuh-subuh
Membikin siring antara vanili dan sulur sirih berdaun merah
Kini melilit sebatang pohon seri. ‘Jangan pernah membenci,
Anakku, jangan pernah membenci,’ lirihnya di tepi senja itu.
Begitulah, kami mulai lagi permainan purba itu, mendekap
Rasa kutuk yang aneh tahun-bertahun, lolong yang terbantun
Pada bibir sejarah, kekejian yang dipahami tanpa rasa salah.
3
Di ketek adek paku dipantek, kali-berkali beliung ditancapkan
Menembus laung kesakitan, bunda memeluk betis penghukum
Sebelum sebilah gancu digaruk ke perutnya, atas nama dosa
Kegilaan massal itu dihajatkan, seakan upacara pembersihan.
Bersuit angin sebentar, gerimis senja menyentuh sayap lelawa
Di dahan nangka terbakar digantung sederet tebasan kepala;
Jari-jari putih menghapus noda kesumba di ujung pedangnya,
Di kubangan kerbau algojo itu berkaca sebagai pemilik surga.
Tanpa nisan, sebuah lubang baru digali, tiada bakal jadi saksi
Tubuh-tubuh penghujah telah disucikan, jadi juadah dan kopi
Boleh dihidangkan, di bawah pohon siwalan itu arwah kami
Berkerumun, masih ketakutan, sebelum pesta pemburu babi
Dimulai, bebareng melantunkan doa, ayat-ayat penyejuk jiwa
Melepas arwah kami mengembara, menggoyang sarang lelaba
Di atas jendela, sesekali lubang itu menguarkan bacin darah
Tanda arwah kami bergentayang di sudut kiri halaman rumah.
4
Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap
Meluku mata dua ekor kambing jantan, kemarau di halaman
Telah berkisar hingga jantung dipacu dari tanggal ke tanggal
Pada kalender kusam tergantung di dinding gelap meracau.
Jadi batu-batu dekat cincin sumur tua itu boleh disingkirkan
Sebagai nisan, meskipun arwah kami terlalu lama dilupakan;
Memeram pertanyaan di bawah lidah sakit kaum pemberang
Kami hanya tak bisa menjerit, sebab di bawah rumpun ilalang
Kami terus dipaksa menyanyi lagu kebangsaan, serupa kicau
Ratusan pipit berebut mematuki remah padi; sawah ditinggal
Sebab para petani mengungsi, sebab truk-truk para penjagal
Mencegat dari simpang dukuh memburu orang-orang kalah.
Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap
Menyeret kami bebas ke negeri orang-orang mati, memang,
Hantu-hantu tidak tewas dua kali, kami bisa tenang sekarang,
Hidup tanpa membenci, di sini, di negeri orang-orang mati.

Komentar

Postingan Populer