malam yg suntuk
Melanjutkan hidup
cukup
hukuman diri atas
kesalahan yang entah
sakit yang entah
luka yang entah
kupacu jantungku yang melemah kembali
kerajut serpihan hatiku yang terkoyak
kupungut kembali isi pikirku yang terburai
cukup sudah
aku akan terus berjalan walau sebelah kaki luluh lebam
dengan dua tangan yang masih sibuk menyeka derai air mata
dengan hati yang sumbing
just wanna be...the new seroja putih.
Nak
nak...hari telah petang
bisakah kau menuntunku ke pinggir jendela
aku ingin melihat langit merah saga
aku masih ingat
tiap senja kau pasti telah menantiku membawakanmu sekantung gulagula
nak, kau masih ingat
acap kali setiap malam kau akan selalu minta
cerita dongeng si putri salju bukan dengan tujuh para kurcaci
tapi dengan pak kurakura dan pak kelinci
dan itu berulangulang hingga kau tertidur
Nak, kini kau telah dewasa
langkahmu lebar lompatmu jauh
mengapa tak kau pergi tinggalkan aku
pergilah
kejar citamu itu
jangan habiskan waktumu hanya untuk menyisir rambut putihku
pergilah
nak, sebelum pergi
sebut namaku...sekali saja
bunda...
Dua wajah
ketika tak mampu lagi bedakan kalah dan menang
wajah itu berkata
tersenyumlah
biar tawamu gelorakan langit
biar ceriamu saja yang hiasi pagi hingga petang
lukis lengkung cekung itu di sudut bibir
oles, poles dengan canda
jangan biarkan jeda tuk mereka terdiam
oleh gelak
lalu seraut wajah bersembunyi
jauh
di palungpalung himpitan dua jurang
menitikkan air mata sendiri
satu wajah mengalah
wajah lainnya bersorak penuh kemenangan
sejatinya aku tak akan mengakui kekalahan
oleh apa pun
itu...
BRUNO, MENGOYAK KESOMBONGANKU
By: Seroja W
Dari pantulan cermin di sudut ruangan ini, kini aku dapat melihat bayanganku sendiri. Mengagumi kecantikanku, sungguh sempurna kurasa. Di atas meja tampak benang, jarum, manik-manik dan kain berwarna-warni tampak berserakan.
Wanita tua itu tampak tertidur, tertelungkup di ujung meja.
“Hei! Jangan kau tiduri gaunku wanita tua!”
Aku sungguh gusar, seenaknya saja wanita tua itu akan mengotori gaunku nanti dengan air liurnya. Aku hapal betul kebiasaannya, selain suka mendengkur wanita tua itu juga berliur jika tidur. Sungguh menjijikkan.
Sudah tak sabar membayangkan, betapa cantiknya aku nanti. Si tuan kaya itu akan memboyongku ke istananya. Tempat yang paling layak buatku. Bukan di tempat ini, bersama onggokan sampah-sampah itu. Ini malam terakhirku di tempat sumpek ini, sungguh. Aku tak sabar menanti pagi esok hari.
Gaun indah itu kini telah melekat di tubuhku, sempurna. Aku abaikan tatapan iri di sekelilingku. Sengaja aku berlengak-lengok di depan mereka, biar mereka tahu, akulah sang putri raja.
Wanita tua itu sedang memasangkan tiara pada gerai rambutku, sesak aroma tubuhnya yang belum terjamah air pagi ini membuatku mual. Sejam lagi aku akan dijemput dan wanita itu terburu-buru mendandaniku. Selesai juga akhirnya.
Tak lama terdengar bel pintu berbunyi, menandakan kedatangan tamu yang sedang kunanti-nantikan. Dua orang pesuruh berpakaian rapi datang menjemputku. Dadaku berdebar kencang, ingin rasanya berlari ke arah mereka.
Senyum wanita tua itu menyeringai kala beberapa lembar uang diterimanya dan langsung masuk ke dalam saku bajunya. Upah atas kerjanya seminggu ini. Wanita itu pantas dibayar mahal. Aku tak memperdulikannya, yang penting aku segera pergi dari tempat ini. Tak akan pernah kembali ke sini, itu sumpahku.
Dugaanku tak meleset, si tuan kaya ini benar-benar kaya. Rumahnya bak istana, pilar-pilar tinggi menyangga tiap sudutnya, lampu kristal yang menjuntai itu berkerlap-kerlip indah. Sementara para pesuruh itu membawaku dengan sangat hati-hati, aku memang layak diperlakukan istimewa seperti ini.
“Bawa ke ruang nona Ginie!”
Tuan kaya itu menatapku sejurus, hanya itu. Lalu ia kembali sibuk di meja kerjanya. Kecantikanku ternyata belum dapat menggoda manik matanya tuk melihatku berlama-lama. Lihat saja nanti tuan! Aku akan membuatmu menyukaiku.
Ketika memasuki kamar Ginie, aku tak kalah takjub. Di tengahruangan tampak sebuah ranjang besar berukir dan kelambu putih berenda indah. Di sudut kiri di samping jendela, sebuah lemari kaca besar dipenuhi beragam mainan. Tapi aku yakin tempatku bukan di sana. Aku akan selalu dalam dekapan nona kecil itu, Ginie.
Aku dikagetkan suara salak anjing yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ini. Tak lama seraut wajah bocah cantik menyambutku dengan gembira. Direngkuhnya aku dengan tak sabaran, lalu melambai-lambaikan aku di udara. Kami berputar-putar lalu tertawa bersama.
Tapi anjing pudel kecil itu menyalak lebih keras. Ginie malah kesenangan melihat anjingnya itu melompat-lompat hendak meraihku. Diayun-ayunkannya aku tepat di depan hidung anjing pudel jelek itu. Cakarnya hampir saja merobek gaunku. Tiaraku juga telah terlepas dari kepala. Sungguh kini penampilanku sangat kacau, aku tak berdaya.
Ginie semakin asyik memainkan aku untuk menggoda si pudel anjing kesayangannya itu, dan benar. Satu lompatan tinggi akhirnya cakar-cakar tajamnya itu merobek gaunku. Ginie masih belum berhenti tertawa, lalu ia memandangku yang tampak sangat berantakan. Ia berlalu dari kamar dan menuju ke ruangan kerja papanya sambil membawaku serta. Akhirnya selamat aku dari anjing jelek itu, tak tampak pudel itu mengikuti kami.
“Papa..”
“Ada apa sayang, kau suka dengan mainan barumu itu?”
“Ginie, tidak suka!” sambil menyodorkan aku pada papanya. Si tuan kaya mengambilku dari tangan Ginie, ia tampak iba melihat penampilanku.
“Mengapa sayang?”
“Boneka itu jelek, aku mau yang lain papa!” langit bagai runtuh, aku menggigil mendengar ucapan Ginie.
“Ehm..baiklah, papa akan belikan kamu boneka yang baru lagi” lalu tampak Ginie keluar dari ruangan kerja itu sambil mengecup pipi papanya sebagai ungkapan terima kasih.
“Ginie, lalu boneka ini?” tanya si tuan kaya pada putrinya itu.
“Berikan saja pada Bruno, ia suka memainkannya papa.”
Lalu terdengar suara salak anjing mendekat. Sementara Ginie kembali ke kamarnya. Si tuan kaya kembali menatapku, aku membalasnya dengan tatapan penuh permohonan, aku mengiba kepadanya agar tak membuangku. Dengan sangat ringan ia membuangku ke sudut ruangan sambil berteriak,
“Bruno!” sekonyong-konyong anjing itu menerkamku di udara. Tamat sudah kesombonganku.
***
Sementara seorang wanita tua sedang menyiapkan sebuah gaun yang sangat indah untuk sebuah boneka. Pesanan si tuan kaya untuk putri kesayangannya. Terbayang olehnya lembaran-lembaran uang yang akan diterimanya nanti.
Di sudut ruangan sebuah boneka berambut pirang tergerai sibuk memuji-muji kecantikan dirinya sendiri.
ketika tak mampu lagi bedakan kalah dan menang
wajah itu berkata
tersenyumlah
biar tawamu gelorakan langit
biar ceriamu saja yang hiasi pagi hingga petang
lukis lengkung cekung itu di sudut bibir
oles, poles dengan canda
jangan biarkan jeda tuk mereka terdiam
oleh gelak
lalu seraut wajah bersembunyi
jauh
di palungpalung himpitan dua jurang
menitikkan air mata sendiri
satu wajah mengalah
wajah lainnya bersorak penuh kemenangan
sejatinya aku tak akan mengakui kekalahan
oleh apa pun
itu...
Merintih subuh
masaku tinggal sedepa lagi
mentari akan koyak legamku
tapi kian sunyi
teramat sunyi
mereka masih dibuai mimpi
bergulung dalam selimut
termanja nafsu yang berulah
memaku mata, juga hati
suaraku telah parau
bagai toak tua berkarat
betapa aku rindukan mereka
semarakkan subuhKu
sesekali kuintip
derap langkah ke subuhKu
para manula yang terbungkuk
di mana para mudamudi
oh, ini mungkin akhir dari kisahku
meratap ke langit menghilang dalam tanah
kalau saja mereka tahu
bisa saja esok hari mereka tak akan lagi menjumpaiku
jangan sesali..
Lelaki karang
Lelaki itu menatap laut lepas. Pandangannya terarah pada gulungan ombak yang berkejaran menjilati bibir pantai. Angin begitu riuh, sahut menyahut, tak henti nyanyikan lagu nyiur melambai. Pasir berserak pasrah dicumbui buih air laut.
Di ujung sana cakrawala seakan tak ingin lepas dari pelukan samudera. Hatinya sepi, mencari-cari sesuatu, yang belum ia temukan.
Lalu selintas bercakaplah lelaki itu dengan lautan,
"Tak jemukah kau memadang aku?" tanya laut pada lelaki itu.
Ia menghela napas dengan berat, ada bongkahan karang cadas di hatinya. Menggunung dan berharap debur ombak dapat mengikisnya.
"Laut, haruskah kuukur luasmu agar aku dapat mengitung berapa banyak air yang kau tampung untuk dapat mengapungkan perahuku tuk berlayar di wajah birumu?"
Ada sesuatu yang meretas dalam jiwanya, seperti telur yang telah retak.
"Ada apa dengan luasku? Bila aku selalu merindukan perahu-perahu itu untuk selalu terombang ambing di permukaanku."
"Laut, bawalah aku pada dasarmu. Agar segera kutemukan mutiara terindah itu dalam perutmu. Kelak itulah bekal yang akan kubawa kembali pulang. Untuk mereka laut, orang-orang kecintaanku."
"Hanya untuk merekakah kau pulang? Tidakkah kerinduanmu padaNya lewatku yang selalu merantai kaki-kakimu itu."
laut cemas, angin meniupnya terlalu kencang, wajahnya memucat bak ombak memutih bergelung-gelung.
Lelaki itu menoleh ke barat, senja telah kembali memerahkan hatinya. Dengan perlahan kakinya melangkah menjauhi laut. Laut hanya mampu terdiam, seakan tak rela melepas kekasihnya pergi.
Penguasa angin sedang murka, napasnya memburu, memberangus arah selatan ke utara. Tak ada wajah yang tak pias menatapnya, tak ada nyali yang tak ciut ditantangnya. Tapi perlahan seorang lelaki tetap mengayuh sampannya ke tengah laut. Ia rindu kekasihNya. Alam meluluh lantakkan jiwanya.
Ketika badai datang semua menjauh dan bersembunyi di balik selimut-selimut tebal di bawah hangatnya tungku api. Tapi tidak lelaki itu. Dia lah lelaki karang itu. Tak akan henti sampai apa yang di tuju tersandang di bahu. Dia bukan sombong tapi penantang yang tangguh, mana mungkin ia melupakan lautan, kekasihnya. Kekasih yang yang akan membawanya menemukan tiga perempat jiwanya yang telah terkoyak. Yang dia inginkan hanya mencari dirinya , agar ia segera menemukan perkenalan dengan Tuhannya. Karena sejatinya pemilik jiwa dan hati adalah Sang pencipta.
Kini dalam badai itu dia kumandangkan zikir tiada henti, bak rayuan agar badai memanja. Lalu lelaki karang itu melarung bersama lautan, masih mencari..Sang pencipta.
sketsa hati
Komentar