Smakin senja
Jalani saja
tak ada janji ketika pagi datang..lalu hari mulai menghangat
mentari selalu ramah...cinta yang tersaji dalam ikhlas
tak butuh puji juga puisi
waktu mengalir merambah siang..
seperti secangkir kopi yang mengering
namun aromanya masih ku nikmati di bibirmu
semua berjalan sesuai ritme
tak perlu takut terik menyengat
karena kasih tlah tertera
senja pun datang dengan ramah...
lalu apa biang resahmu
berjalanlah selayak kau jalani
kau telah tahu di mana mencariku
saat remang menghantarmu kembali
rindu pasti ku lunasi
Ketika Kau Puisikan Aku
Kita biarkan malam berbicang tentang rasa yang selalu engkau eja sewarna biru seperti laut di pulaumu, sebab mata cupid tak pernah beralamat tepat, hanya menusuk jantung puisi, subuh tadi.
Ruang telah disepakati sebagai risalah yang tiba lebih dulu kepada kekasihmu, yang bukan aku. Lalu kau nikahi setia matahari, memunguti anakanak puisi sepanjang hari.
Ganjil telah membutakan arah mata angin yang tertuju, seperti kilat berkata "aku mencintaimu", sementara hati berkata "demi katakata yang melukai aku"
Mulutku demikian tajam dengan mantra, sementara engkau seperti malin kundang di tepi pantai memohon semula.
Aku hanya sebuah nama yang bukan apapa, dengan iblis yang setia merasuki dada, buatku lupa ada kunang datang di sepertiga malam
Kecantikan bukan pada paras bidadari yang turun saat pelangi datang setelah hujan, sebab setiap perempuan adalah ibu puisi, dengan engkau sebagai pendampingnya hingga nanti
Gelungan rambutku terurai, kusutnya nampak di ujungnya. Itu kamu, sebagai pemuja purnama, dan aku pendengar rintihan srigala yang meratapi gerhana.
Airmata tak membuatmu dewasa, memahami cinta itu buta. Tapi tak membuatmu jera untuk jatuh cinta dengan segala kerumitannya.
Tak ada hak untuk menghakimi manusia yang lebih dari aku, iblismu. Sebab engkau lebih suka mengendapkan isi kepalamu dengan peta buta yang tak pernah menyilangkan titik temu.
Pembelaan nyaris serupa pembenaran jika hanya menelan satu sisi, sementara matamu telah lama terbakar wajah ayu.
Kuhardik untuk diam, engkau mengiyakan. Tapi wajahmu berubah rengekan anak kecil yang minta dibelikan balon dengan warna berbeda, kutenangkan sambil bergumam "balonku ada lima, ruparupa warnanya"
Kini kau pecahkan satu persatu, tepat di empedu. Hingga pahitnya singgah di tuangan kopi ketigamu. Engkau masih bersenandung lirih "aku makin mencintaimu, puisi" atau terdengar seperti "aku makin mencintaimu puisi" dan wajahku terperangkap dalam kabut tuangan keempatnya.
Tubuh puisi yang menua, mati muda, aku
MataHari, Sebuah Musim
Kali ini aku benar-benar kehilangan akal sehat, ketika hendak menemukan sebuah nama, dalam file yang kian abu-abu mengendap di sebuah ruang kedap di ruang dulu. Nama yang demikian takjubnya memacu jantungku dengan detaknya, yang bergemuruh bila bertemu, bila namamu disebut teman-temanku.
Namun ingatanku, melupakan di sebelah mana abjad awalmu. Entah sebab apa, sehingga demikian alpanya pada huruf awalmu. Mungkin waktu kian bersepakat dengan file lain, debu yang menebal dan sawang laba-laba agar aku tak lagi mengingatmu.
Ingatan demikian enggan merambah tiap incinya pada inisial, sebagai nama kesayangan panggilanku kepadamu. Aku hanya bisa menukarkan sisa memori dengan gambaran wajahmu pada setiap kepulan capucino saban pagi dan sore. Dan jujur tak pernah bisa menemu.
Awal musim itu kita sadari sebagai surga, tempat kita berdua memadu sisi gila ketika memuja cinta. Bukan sepasang dewasa yang mengerti bahwa cinta kita telah cacad ketika memulainya. Aku dengan apatis yang terkurung cemburu sebagai peluru yang siap meledakkan kepalamu. Dan kamu sebagai sisi ego yang serba salah menebak kemana ujung tualang ragamu.
Sukma kita hanya sigap menerka-nerka di mana rasa kangen, yang dulu demikian gagap mengeja, kata cinta dari kedua bibir, yang sepakat memagut kebersamaan, dengan cumbu. Hingga matahari pecah, darahnya kuyup di tubuh spray putih yang pasi, hingga ruang mendadak gelap dan pengap. Wajah pagi yang mati tak lagi mengerti dan memahami, maka mesti diakhiri.
Lalu jarak mengirimkan cuaca, dengan hujan dan kemaraunya, parau suaraku memanggil cinta yang berlari kian tak tentu arahnya, mungkin ia ada di sisi bahagia manusia, tapi aku nampak ada di sisi kanak yang mencintai derita, di persimpangan kota, di bawah jembatan yang kian kepayahan menyangga sostro bahunya, jejak kian tak jelas arah muara sebagai alamatnya. Kehilangan nahkoda atau kebanyakan nahkoda, tapi engkau menetap di sebuah ruang sebagai rajanya.
Sebuah akhir yang tragis tanpa menangis, sebab tak lagi bisa kudengar suara yang meneduhkan, ketika baraku meledak-ledak. Juga tak bisa kembali, canda dan sapa tak lagi menghangatkan segala mimpi malamku, menjadi cita-cita sebuah sore yang gerimis dengan candle light diner yang menunggu, kita.
Hingga suatu saat kita tersesat dengan dahsyatnya rasa cinta yang kita punya, dan kembali kita cium wanginya dengan bahagia, sebab aku mampu melupakannya, melewatinya, meski tak mungkin menghindarinya. Sebab aku makin menikmati jatuh cinta lalu berceracau dengan gila, bernafas sebagai manusia beradab berkali-kali, dan sebagai biadab yang tak pernah mati.
Dan biarkan waktu menawarkan perulangan, dengan labirin nasibnya, kepada aku dan kamu sebagai pilihan, sebagai bagian dari muasal perjalanan
Sayap Malam yang Patah (Cermin)
(silahkan masuk saja, aku sedang mengeja jemariku dengan nafas pendek)
Malam seolah berhenti, saat perempuan matahari, berbicara kepada sukma terdiam sebuah dinding, yang selalu menempati sisi terbaik sebagai kekasih.
Nama lelaki itu mengurung pikiran mendung di kerutan keningnya. Hembusan angin menelikung, dan langit memecahkan resah yang terbendung. Geram yang legam, seolah Tuhan turut berduka dan mengecam.
Ketika prasangka telah tiba lebih dulu, membentangkan jarak yang tak terbiasa percaya pada sebuah ruang kita. Meski waktu menderaskan pasirnya, setelah tegursapa meniada di kedua bibir yang gagap terkunci rasa.
Maka menerima itu memberi bukti kesekian kalinya. Saat ekor mata elang lelakinya membaca, bahwa tanah sebagai muasal tubuh, yang mendadak terbungkam seolah kecewa. Salah mengeja ciuman pertama, bunga kamboja sebagai kenanga.
Ingatan kekasihnya hanya menatap dengan kilatan lupa, meski pikiran selalu terbelah dua. Menebak-nebak kanan dan kirinya sebagai persimpangan jalan, kepantasan atau kewajaran sebuah awal perjalanan.
Perempuan itu menyebutnya ambigu, saat lelakinya menghujani pertanyaan yang tak perlu, sebab dulu ketaksadaran seolah jadi pembenaran perilaku, dan cinta seperti diperebutkan pemaknaan semu. Hendak mencatatkan kembali risalahnya di sebuah buku.
Tapi masa kini, menyulap nalar yang berlompatan menjadikannya pikiran baru. Mengunci dan memasukkannya dalam sebuah lorong yang tak menghulu.
Sukma perempuan matahari terduduk di bangku. Menikmati segala peristiwa selega menghirup udara. Mendengarkan kicauan burung gereja yang mulai bercanda dengan cabang pepohonan. Berusaha melapangkan sesak dadanya.
Pagi ini, citacitanya hendak menikah dengan lelaki puisi, terpatahkan nyalinya. Mengenyahkan egonya untuk merahimkan benih hurufhuruf yang paling kering, sebab ramalan cuaca dan musim yang tiba seperti gambling setiap bulannya. Mencabik hatinya berkeping-keping.
Tak penting lagi memupuk katakata dengan diksi, metafor, juga rima, sebab ayatayat alam seperti menyisipkan pesan malam tanpa bunyi, tanpa henti.
Subuh menyiapkan kenduri sunyi untuk melahirkan puisi yang berwarna pelangi. Seperti puasanya kepompong yang menua dan pecah setelah melintasi hitungan minggu. Menjelma kekupu bersayap cinta, mampu arungi ruang hampa. Lalu bersemayam di jantung perempuan itu, di dini hari yang luruh.
Ia abaikan dilema. Meski nama lelaki itu masih seperti dewa yang mengutuk ketiadaanya, hingga rasa bersalah melebihi dosa perempuan itu kepada tuhannya.
Nampak dari wajahnya yang tirus, dengan garis kerutan yang berjamak di dahi dan ujung matanya. Tergerus musim dingin dengan hujan, yang menenggelamkan kenangan di sebuah kota, yang makin sibuk mengkalkulasi biaya operasi plastiknya.
Kota yang menempatkan pelacur sepertinya, sebagai perempuan biadab, dengan cemooh dan cibiran para ibu rumpi. Yang hobi memoles hidung, bibir dan wajahnya dengan silikon sebagai kepalsuan, narsisnya bahkan melebihi artis, meski tak pernah absen ikuti arisan dan kabar selebritis.
Perempuan matahari yang bisa melipat angan-angan dalam diam. Memilih pulang menjadi kepatuhan terakhirnya, sebab ia mulai belajar memahami ego yang sepadan, kala cukup telah sanggup mengendalikan keinginan.
Meski semalam kekasihnya telah mematahkan niat teragung, menjadikannya wanita sebagai cinta.
(senandungku)
1/
keheningan sebagai karibmu
tatapan kesekian, berisyarat rindu
tak perlu kubuat puisi, katamu
sebab jalanku puisi
nafasku puisi
bicaraku puisi
dan kita sepasang tinta
yang tak habis mempuisikan
cinta, di tubuh kita
di hamparan kertas putih yang abadi
sebagai sejoli
2/
malam yang nelangsa
tertinggal laju bus kota
deru sisakan kabut di langit jakarta
pekat malam tak banyak bicara
mencumbui sebuah peluk pertama
yang paling ibu
: kita
pinanglah sempitnya waktu
sebab aku mulai mencintaimu
: lelaki hujan
Mungkin dulu kupanggil kamu kekasih, di kotaku yang hanya sanggup menghitung usia dengan sempoa, dingin malam menghunus pisaunya ke jantung pagi, darah segar berkelakar dengan mimpi dini hari, lorong yang mulai kosong disinggahi sepisepi, aku tertikam kembali
Hanya menanti sesuatu yang kamu sebut matahari, aku masih Ra di hatimu, embun puisi yang paling pagi
Seolah bayangan yang posesif kepadamu, aku ingin merumah di sepanjang waktumu, yang katamu hanya aku rahim katakata dan kamu ayah anakanak puisi yang selalu madu, membuat sepanjang terangmu bahagia, tak ingat semestinya
Sadar perjalanan tak selamanya lurus sebab jalan tak seperti garis lurus, yang menghubungkan aku denganmu adalah tikungan, yang miliki sisi curam dengan parorama laut sebagai jurangnya, dan gelombang sebagai penerima segala pikiran gelap di kepala
Persimpangan dengan rambu sebagai petunjuk jalan yang selalu paham arti sendiri, dengan jaman yang menyihirnya menjadi menhir membuat sepi terlalu cepat terlahir untuk mati atau jadi korban tabrak lari, maka memlilih lebih berarti dan tak memilih pun miliki nyali
Tak perlu pertanggungjawaban darimu, jika itu terjadi, sebab bungkam telah memulai memberhalakan egomu yang paling lakilaki, memupuk pembenaran yang beralibi, hingga membuat jejak hitammu cuci tangan dari tatapan tetangga
Sementara aku diam mengelus dada, melumrahkan rasa bersalah yang lebih dulu tiba di keningmu, dan memahami bahwa diamdiam jejak kita hilang tertiup kenyataan, cinta yang buta kini mulai berbohong
Tubuh lelaki hujan tak lagi mengetuk pintu dengan gerimis dan senja yang buatmu jatuh cinta seperti dulu, ada lidap berminggu yang meruncing seperti hendak mencongkel gembok sebuah ruangan kita, sebab anak kuncinya terlupa, entah kemana, padahal tertinggal di saku kiri baju batikmu
Perbincangan kini melupakan ruang sederhana, tak lagi bisa menebak ujung lorongnya, sebab tubuhmu telah gagap menerjemahkan, betapa masaknya jarak kita yang percaya dengan tatapan curiga, dan aku menatap punggungmu sebagai pecundang yang kehabisan imajinasi menuliskan puisi, sepanjang jalan pulang ke kotamu, tanah deli tempat ibu
Sebuah Masa, Hulu
di sebuah hulu, setia menggulung mendung di langit malammu
aku hanya seonggok batu yang merindu arus kali menggerus, menjadi sungaimu
sebab ragu demikian mempesona menatap jilatan bara api di matamu,
menguasai hati pengembara seolah phobia yang menghitamkan nyalimu, lelaki masa lalu
pendar pelita tak nampak, sebab hati mendadak pucat seperti melihat hantu berpigura di dindingmu, itu aku
setapak malam menyimpan bibirku di bibirmu sebelum bibirnya terlipat rapi, menjadi memori
hembusan angin dari jendela bus kota hendak menyeret dan mengurung sebuah nama, tapi kantuk kian terlalu melarutkan isi kepala
maka kita biarkan botolbotol koma, melipat kebungkaman kaca dalam rakrak kayu tua, tanpa sempat menggerutu, arti hampa dan kecewa
hingga musim dingin tiba, saat hujan tak henti menyimpan kosong menyisakan sepi yang paling pagi
waktu tak mengabaikan rasa yang paling yatim piatu bercerita, bahwa bahagia sebagai ujung semua derita
kita belajar mendiamkan saat hidup menuai karmanya, setelah nasib memperkosa jaman dengan gegap gembita
sebab jarak dan kenyataan mengajari kita merelakan, sebelum aku menusuk jantungnya dengan kelembutan yang legam
; tanpa kepurapuraan
mungkin angka akan menua
seperti keriput para manula di keningnya
tapi isi kepala tak pernah dewasa
mengartikan jaman seolah kanakanak
di taman bermainnya
jangan bicara kalam, seolah ibadah kepada tuhan
jika hati masih memandang dunia dari lubang jarum tanpa ujungnya
di sini barisan lampion hanya menghantar perayaan, pak tua
ini hanya hari ke sekian di ujung bulan yang menua saat menerima kedatangan yang muda mengeja kerut dan flek hitam di wajahnya
seperti menghitung berapa lubang yang tergali di sepanjang jalan pulang kita, atau tak sempat kita menutupnya dengan doadoa sebagai tanda menerima,
masih di sini pak tua, lampion mulai mematikan nyalanya ketika petasan berhenti meriuhkan kejutannya, sejak kenyakinan telah menuai sebuah iklas sebagi buah tangan takdir menjadi anak yang akan belajar dewasa
di ujung gang pak tua, tak ada luka dan derita
tak ada lagi tanya, kapan ujungnya bahagia
sebab sesungguhnya, kekasih telah menyiapkan perahu menjemput menuju cahaya, tanpa apapa, sebab senyum tulus lebih bisa bercerita
Diamlah di Pulaumu
: adiku
1/
pada sebuah pelabuhan, kamu masuki ruang nyaman, ketika singgah di kotaku
tapi masa mengurung keningmu dengan jutaan kenang yang menggemaskan
meski aku telah melepas lembaran dulu, hanya empedu yang kutelan
diam-diam kau simpan dalam telagamu menjadikan angan, sepertiga malam
padamu mungkin sebagai rindu dan padaku seperti kenyataan
hingga penyesalan tertanam di hitam matamu
maka kuliti sajak dan puisi dari tubuhku untuk kaubawa jauh-jauh, menuju pulaumu
--
2/
di sebuah musim
gerimis di kotamu
seperti nasib
yang berjatuhan
dari langit
yang di kakinya menggenang
kering, tertatap matahari
parasmu hilang terbawa angin
---
3/
pagi tadi, di ujung desa kau tinggalkan pesan hingga perempuan itu murung, lalu imaji siangmu menyusuri jembatan menemuiku, menyulam katakata dengan bahasa ibumu,
senja ini, tuangan arak bali yang terbawa di punggung, buat lambungmu limbung,
jam dinding di kotamu berguncang, hendak kau bakar jembatan, dan prasasti nama desa itu, dengan arak, yang menyesali cawan terakhirnya
lindap yang senyap itu, merupa tuhan di tubuhmu, sebab tak satu pun kalam masuk ke telinga, hati mendadak buta
---
4/
diam
itu
dian
namun kau campur
darah dengan anggur
diam
yang ngawur
sketsa hati
Komentar